Psikolog berikan kiat membatasi diri dalam mengikuti tren hiburan

Jakarta (PAY MEDIA), liburan dan belanja online.

Di penghujung tahun, aktivitas hiburan di Indonesia meningkat, mulai dari konser, promosi liburan, dan lain-lain. Namun, sebelum memutuskan melakukan aktivitas rekreasi di atas, Adhissa menyarankan agar kita mempertimbangkan kembali pentingnya melakukan aktivitas tersebut.

“Ini bukan soal FOMO (Fear of Missing Out), tapi tentang bagaimana kita menjaga diri,” kata Adhissa saat wawancara dengan PAY MEDIA di Jakarta, Senin malam. .

Menurutnya, penting bagi masyarakat untuk berpikir sejenak dan mempertimbangkan untung ruginya hiburan sebelum melakukannya (terutama yang baru pergi). Jangan lupa untuk memeriksa anggaran dan energi yang tersedia sebelum melakukan aktivitas rekreasi apa pun.

“Kalau dipikir-pikir, tergantung masing-masing orang, tapi tidak harus sehari, sebenarnya hanya beberapa menit saja kita bisa lihat baik buruknya, itu waktu dulu,” ujarnya.

“Dari segi uang apakah kita mengisinya (jika digunakan untuk hiburan), apakah berfungsi, apakah uang itu akan digunakan untuk keperluan lain atau tidak.”

Lebih lanjut, ia meyakini terkadang sulit mengetahui apa yang menjadi prioritas setiap orang karena tidak semua orang memiliki prioritasnya masing-masing. Asalkan tidak berlebihan, aktivitas rekreasional boleh dilakukan.

Yang penting kita tidak sampai ke bawah, kita juga melihat uang dan tenaga, kata Adhissa.

Ia menambahkan: “Sekarang, pulanglah. Periksa pro dan kontra (kegiatan hiburan ini), kami pasti akan berhenti melakukannya jika akhirnya berdampak buruk.”

Misalnya, menonton pertunjukan. Akhir-akhir ini banyak sekali konser artis lokal maupun mancanegara di Indonesia, dan banyak sekali yang menghadiri acara tersebut.

Alih-alih menikmati acara tersebut, banyak dari orang-orang ini yang memaksakan diri dan akhirnya mengikuti prosesnya. Oleh karena itu, jangan lupa untuk mencermati kelebihan dan kekurangan hiburan agar tidak terjebak dalam FOMO ekstrem.

“Testing itu aturannya, kita harus melihat dua sisi, apakah menguntungkan atau merugikan kita,” ujarnya.

“Kalau kami masih tertarik, mungkin bukan FOMO, tapi keharusan,” tutup Adhissa dalam wawancaranya.

Related Post

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *