BEIJING (PAY MEDIA) – Kunjungan Menteri Luar Negeri Tiongkok Wang Yi ke Chad berjalan baik meski terjadi serangan kelompok bersenjata pada hari yang sama, pemerintah Tiongkok menegaskan.
“Pada tanggal 8 Januari, Menteri Luar Negeri Wang Yi melakukan kunjungan resmi ke Chad. Kunjungannya ke Chad berakhir dengan lancar dan sukses,” kata juru bicara Kementerian Luar Negeri Tiongkok Guo Jiakun pada konferensi pers di Beijing, Kamis.
Pada Rabu (1 Agustus), kelompok bersenjata menyerang kompleks istana presiden di ibu kota Chad, N’Djamena, menewaskan 19 orang dalam baku tembak, termasuk 18 ekstremis Boko Haram dan satu petugas keamanan.
Meskipun Menteri Luar Negeri Tiongkok Wang Yi melakukan kunjungan diplomatik ke empat negara Afrika, yaitu Namibia, Kongo, Chad, dan Nigeria, pada tanggal 5 hingga 11 Januari 2025, namun hal ini merupakan tradisi diplomasi Tiongkok yang menandai kunjungan luar negeri pertama yang dilakukan para menteri luar negeri Tiongkok. Awal setiap tahun jatuh di sebuah negara Afrika 35 tahun yang lalu.
“Kami mencatat laporan media tentang serangan itu. Tiongkok sangat mendukung upaya Chad untuk menjamin keamanan dan stabilitas negaranya,” tambah Guo Jiakun.
Menurut Guo Jiakun, serangan tersebut tidak akan mempengaruhi perdamaian dan stabilitas Chad.
Menteri Luar Negeri Wang Yi bertemu dengan Presiden Chad Mahatma Idriss Deby Itno, Perdana Menteri Alamaye Halina dan melakukan pembicaraan dengan Menteri Luar Negeri Abderman Koulallah, kata Guo Jiakun.
Beberapa jam sebelum penembakan di kompleks kepresidenan, Menteri Luar Negeri Tiongkok Wang Yi bertemu dengan Presiden Mahatma Idriss Debi Itno dan pejabat pemerintah lainnya.
Menurut juru bicara pemerintah dan Menteri Luar Negeri Chad Abderaman Koulallah, Presiden Deby Itno hadir pada saat serangan itu terjadi.
Penembakan itu terjadi sekitar seminggu setelah pemilihan parlemen di negara itu, meskipun jumlah pemilih rendah dan tuduhan oposisi melakukan penipuan pemilih.
Presiden Débi Itno mengambil alih kekuasaan pada tahun 2021 setelah kematian ayahnya yang anti-pemberontak pada tahun 2021, setelah tiga dekade berkuasa di Chad.
Serangan itu juga terjadi setelah Chad mengumumkan ingin mengakhiri perjanjian pertahanan dan keamanannya dengan Prancis. Sekitar seribu tentara Prancis ditempatkan di negara itu dan telah menarik pasukannya sejak 20 Desember 2024.
Chad adalah negara penghasil minyak, namun menempati peringkat keempat dari bawah dalam Indeks Pembangunan Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).