Tak sekadar cinta, melestarikan batik juga dengan membatik 

Jakarta (PAY MEDIA) – Batik kini dipakai sehari-hari oleh berbagai kalangan, meski dulu hanya raja dan keluarganya yang menggunakan batik di keraton.

Seiring berjalannya waktu, batik mulai diproduksi oleh masyarakat umum dan menjadi populer sebagai pakaian.

Menurut situs Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, batik dikembangkan pada masa kerajaan Mataram. Kemudian berlanjut hingga saat ini di bawah kerajaan Solo dan Yogyakarta. Gaya dan ragamnya juga terus berkembang.

Saat ini batik tidak hanya digunakan pada acara-acara tertentu saja seperti acara formal atau resmi. Batik kini rutin dikenakan setiap hari dengan desain yang berbeda dan lebih modern.

Apalagi sejak ditetapkannya Hari Batik Nasional yang diperingati setiap tahun pada tanggal 2 Oktober. Batik semakin banyak digunakan oleh masyarakat, tidak hanya kalangan tua saja, namun juga kalangan muda.

Batik masuk dalam daftar warisan budaya takbenda UNESCO pada tahun 2009, sehingga semakin diakui sebagai aset budaya Indonesia tidak hanya di nusPAY MEDIA, tapi juga dunia.

Oleh karena itu, kita patut bangga dan mencintai batik sebagai artefak budaya nenek moyang bangsa Indonesia.

Sebagai wujud rasa cintanya, seniman sekaligus kolektor batik Dave Tjoa belajar membatik hingga ia memamerkan hasilnya di pameran batik bertajuk Kukila Khatulistiwa akhir Agustus lalu.

Koleksi batik yang dipamerkan bernama Oriental yang merupakan perpaduan batik Jawa dan Cina serta memiliki akar leluhur Dave.

Dari kecintaannya terhadap motif batik, Dave pun sudah akrab dengan kain tradisional ini karena sudah menjadi pakaian sehari-hari para kakek buyut atau nenek moyangnya.

Setelah cinta, ia mulai mempelajari motif, filosofi bahkan berburu batik. Dalam 24 tahun, ia mengoleksi ratusan batik.

Batik Tiga Negara

Pria keturunan Tionghoa berusia 46 tahun ini memang selalu menyukai kain khas Indonesia seperti songket, termasuk batik. Kemudian ia belajar membatik dan mengetahui arti dari batik itu sendiri.

Seiring berjalannya waktu, Dave mulai tertarik dengan koleksi batik warisan keluarganya. Pada awal tahun 2000-an, neneknya menunjukkan batik biru putih milik keluarganya, yang menjadi awal mula perburuan batik Dave.

Ia mulai mempelajari seni membatik dengan mengumpulkannya dari para empu batik. Literasi membatik dinilai sangat buruk di Indonesia sehingga harus terjun langsung ke perajinnya.

Dari koleksi keluarganya, Dave pun dikenalkan dengan Batik Tiga Negeri. Kakek buyutnya sangat mengenalnya karena selalu menggunakannya, kemudian ia mulai belajar membatik.

Batik Tiga Negeri merupakan batik motif kompleks yang memadukan tiga motif Lasem, Pekalongan, dan Solo yang diwakili oleh warna.

Budaya rapi ini dipengaruhi oleh budaya Tionghoa yang didominasi warna merah dari Belanda, biru nila, dan coklat bawang dari Jawa. Kolektor dan seniman batik Dave Tjoa berpose di depan koleksi batik Oriental miliknya yang dipamerkan di Jakarta pada akhir Agustus 2024. (PAY MEDIA/Desi Purnamawati)

Untuk memuaskan rasa penasarannya terhadap Batik Tiga Negeri, Dave berangkat ke Yogyakarta untuk melihat-lihat batik di sekitar pasar Beringharjo. Dari situlah ia mulai mencintai Batik Tiga Negeri dan terus mempelajarinya hingga sekarang.

Seiring mendalami batik, Dave pun menjumpai berbagai jenis bahan dan mengumpulkan serta mempelajarinya untuk memperkaya pengetahuannya tentang batik, salah satunya adalah bawang merah.

Sogan adalah salah satu jenis batik klasik Jawa yang diambil dari nama pohon soga, biasanya berwarna coklat tua.

“Yang enaknya gelap, aku lebih suka yang punya warna dan tidak membosankan. Tapi sepertinya seiring berjalannya waktu aku mulai melepaskan warna dan beralih ke bawang,” kata Dave.

Menurutnya, berdasarkan perjalanan koleksi kainnya, Anda akan langsung jatuh cinta dengan warnanya karena menarik. Namun begitu Anda memahami warnanya, Anda akan menyukai coklat atau biru atau putih saja.

“Kalau begitu sebenarnya level kita lebih tinggi lagi. Makanya aku selalu bilang sekarang, kalau kamu suka warna ini atau itu, berarti kamu sudah melampaui warna itu. Jadi bukan karena warna itu atau filosofinya atau apa pun. ., tapi lebih karena itu cocok untukmu, “katanya.

Seorang pengunjung melihat batik oriental koleksi batik Dave Tjoan yang dipamerkan di Jakarta PAY MEDIA Heritage Center pada akhir Agustus 2024. (PAY MEDIA/Desi Purnamawati)

Batik Timur

Berdasarkan hasil perburuan batik selama 24 tahun, ada beberapa batik berusia lebih dari 100 tahun asal Juwana, Jawa Tengah, yang merupakan batik pesisir.

Dari batik tersebut, Dave belajar tentang kekayaan budaya tekstil Indonesia dan betapa sulitnya membatik melalui proses yang panjang.

Dengan gagal dan mencoba lagi dan lagi selama delapan bulan. Terakhir, Dave menghasilkan sederet batik oriental sebagai koleksi perdananya.

Tema ketimuran dipilih karena tidak mungkin dipisahkan dengan nenek moyang Tionghoa dan kreasi seninya diwujudkan dalam bentuk batik, karena ia merupakan orang asal namun lahir dan besar di tanah Jawa agar tidak melupakan tanah air. dia bekerja. jangan berhenti .

“Hasil dari saya membatik adalah saya bisa bercerita kepada orang lain bahwa membatik itu tidak mudah. ​​Jadi kalau ternyata batik itu jelek dan kasar, sebenarnya prosesnya tidak semudah itu,” kata Dave.

Tema oriental dipilih karena tidak lepas dari nenek moyang Tionghoa. Karya-karyanya disajikan dalam bentuk batik. Sebagai orang yang lahir dan besar di Pulau Jawa, ia tidak melupakan tanah tempat ia berpijak.

“Sebenarnya pesan yang ingin kami sampaikan adalah jangan lupakan akar budaya kita. Jangan lupakan batik.”

Melalui pameran tersebut, Dave ingin mengajak banyak orang untuk memakai batik dan bangga dengan batik. Apalagi jika dilanjutkan dengan pengkajian dan pembuatan batik sebagai upaya melestarikan kekayaan budaya masyarakat.

Related Post

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *