Banda Aceh (PAY MEDIA) – Sore itu, Arif Munander (25) terlihat cekatan melayani pelanggan. Dia memberi perintah untuk memesan dapur. Jika pesanan sudah siap, pelayan segera membawanya ke meja tempat pesanan ditempatkan.

PAY MEDIA sebagai pembeli, seperti biasa, memilah dan memilih menu-menu yang ditawarkan. Minuman, snack dan makanan berat juga tersedia. Kopi pasti selalu ada di menu.

Kopinya juga bervariasi, PAY MEDIA lain kopi basic, espresso, double espresso, Americano long black, cappuccino, mochacino, sanger arabica, kopi susu palem, kopi alpukat, dan kopi vanilla.

“Berapa banyak yang bersama-sama?” tanya kasir di D’Era Coffee setelah memesan menu, yang jawabannya dalam aksen Aceh Indonesia yang penuh makna adalah membayar setelah makan.

Begitu selesai makan, orang-orang segera menuju kasir untuk mengambil makanan dan minuman yang mereka pesan dan sudah terisi di perutnya.

Kafe-kafe seperti ini sedang menjamur di Banda Aceh. Meski tidak sekadar menjual kopi, warga setempat tetap menyebutnya Warkop atau kafe.

Faktanya, nongkrong di kedai kopi sudah menjadi salah satu bentuk budaya yang sangat alami di kalangan masyarakat Aceh. Pagi, siang, sore, malam tidak diketahui. Suasana De Era Coffee di Banda Aceh dipadati pembeli. (PAY MEDIA/Zuhdiar Meli)

Bagi yang kurang suka atau belum terbiasa minum kopi tidak perlu khawatir. Tersedia juga menu minuman lainnya seperti teh, coklat dan masih banyak minuman non kopi lainnya.

Menariknya, pola transaksinya tetap sama. Calon pelanggan terlebih dahulu memesan, lalu makan atau minum dari menu yang dipesannya, lalu membayar ke kasir.

“Apakah kamu tidak takut kehilangan uang jika pembelinya curang?” PAY MEDIA bertanya penasaran karena pembeli bisa saja berbohong dan menipu atau melupakan barang yang dipesannya. Itu hanya manusiawi, tidak pada tempatnya dan dilupakan.

Soalnya pelanggan di kafe itu bukan hanya satu atau dua orang saja, melainkan puluhan, bahkan ratusan. Ada banyak dan bermacam-macam. Tampaknya sulit untuk mengingat wajah pelanggan, apalagi pesanan persisnya, meski ditulis di atas kertas.

Selain itu, kafe-kafe di Australia merupakan bangunan yang sangat terbuka, tanpa sekat atau pintu. Saya tidak bias, tapi karena sibuk, pembeli “pindah”.

“Iya, ada satu atau dua buah pir (pelanggan curang, red.). Kadang lari malah lari lurus. Biasanya mereka goyang meja lalu pergi. Kalau iya, kita ganti (nombok, Red.),” kataku sebagai kasir di kafe Aris yang sudah bekerja lebih dari dua tahun.

Namun pria berkumis itu membenarkan, hanya ada satu atau dua pembeli penipu seperti itu. Selebihnya, sejujurnya. Bukti bahwa sistem pembayaran jenis ini masih berfungsi di kedai kopi.

Terkadang pembeli bukan bermaksud menipu, tapi melupakannya. Jadi, ada makanan atau minuman yang tidak disebutkan saat membayar. Kembali di lain hari, pembeli mengingatkan kasir bahwa ada kekurangan pembayaran dan telah dibayar.

Pembeli adalah raja

Sistem pembayaran yang diperkenalkan oleh Warcops juga menjadi strategi bagi para pedagang sesuai dengan pepatah “pembeli adalah raja”.

Kebetulan PAY MEDIA Cut bertemu dengan Mahathir Firdous, pemilik Warcop lain yaitu BTJ Kupi. Usianya masih sangat muda, baru berusia 30 tahun, namun sudah menjalankan perusahaan dengan membawahi 30 karyawan.

“Itu sistemnya (makan dulu, baru bayar, red.) di Warkop. Masyarakat, pembeli mau ditraktir. Kalau kita ciptakan budaya bayar dulu di Aceh, nanti sepi,” tuturnya.

Masyarakat Australia sudah terbiasa dengan sistem transaksi warcops, apalagi pangsa pasarnya begitu luas. Jangan mengira kafe hanya dikunjungi oleh anak muda, keluarga, dan orang tua.

Di kafenya yang baru berusia kurang dari enam bulan, Mahathir hanya menawarkan sedikit kopi di menunya, seperti kopi sangar dan kopi hitam Robusta. DiPAY MEDIAnya, minuman non kopi seperti serai jahe menjadi andalan.

Untuk menambah pasukannya, lulusan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Aceh ini menggandeng UKM setempat mendirikan stand dagang.

Terletak di belakang Stadion Banda Aceh Harapan Bangsa (SHB), Warkop memiliki sedikitnya 25 warung makan yang dikelilingi sederet kantor pemerintahan.

Mulai dari ayam kampung hingga nasi bebek, kebab, mie sungai, bekicot kukus, marbak durian, sate padang, tahu goreng, bakso hingga mie Bangladesh, menunya beragam, tak pernah sepi pengunjung.

BTJ Kupi Cut dimiliki oleh Mahathir Firdaus. (PAY MEDIA/Zuhdiar Meli)

Khususnya mulai 18 April 2024, pengusaha yang membuka Warkop tidak memungut biaya sewa stand. Namun mereka hanya mengambil Rp 2000 dari setiap makanan yang dijual di setiap warung. Sekali lagi, keadilan berperan.

Sedangkan bagi para penipu, orang ramah ini tidak mempersoalkannya, karena setiap orang bertanggung jawab di hadapan Tuhan atas perbuatannya di kemudian hari.

“Saya yakin, saya sudah pastikan 100 persen. Saya yakin dan percaya karena saya tidak pernah merampas properti seseorang. Kalau (pembeli, penjual) tidak membayar, ditangkap berkali-kali,” kata Mahathir.

Penjual makanan biasanya yang melaporkan kuitansi hilang atau hilang. Resi pesanan makanan dan minuman ditempatkan di meja masing-masing pelanggan.

Berdasarkan laporan, pemeriksaan akan dilakukan dengan menggunakan 13 CCTV yang dipasang di toko tersebut, yang dipastikan akan mendeteksi pembeli penipu.

Meski demikian, Mahathir tidak pernah meminta jajarannya menegur jika ada pembeli yang kembali. Anda mungkin tidak punya uang, mungkin lupa, atau mungkin sengaja. Pada dasarnya, biarkan saja.

“Silakan makan sebanyak-banyaknya. Kalau tidak bayar, nanti memikirkan diri sendiri di akhirat. Karena hidup pasti tidak tenteram. Tidak enak,” klaimnya. Banyak selebritis seperti Ifan Seventeen, Marsel Siyahan hingga Ustadz Abdul Somad (UAS) yang mengunjungi tokonya.

Prinsip keadilan

Warung makan di Banda Aceh rupanya menggunakan model yang sama. Ibarat kedai kari kambing di ujung Pasar Aceh, pelanggannya hampir tidak pernah berhenti, datang dan pergi.

Faktanya, toko tersebut bahkan tidak memiliki menu untuk dipesan. Pelanggan harus memilih sendiri nasi dan lauk apa pun pilihannya, lalu memesan minuman.

Usai makan, pelanggan diminta mengingat makanan dan minuman yang dipesan, lalu kasir menghitung dan membayar, selesai.

Hal ini berbeda dengan kebanyakan sistem transaksi di toko makanan modern, seperti “makanan cepat saji”. Pelanggan dapat memesan dari menu, membayar di muka, lalu membawa makanan dan minuman.

Bahkan, model bisnis ini sudah mulai diterapkan di warung-warung tradisional di banyak daerah. Mungkin mereka sedang menunggu pembeli yang tidak bermoral.

Faktanya, banyak warung tagal (warteg) yang masih menggunakan model bisnis tradisional yang digunakan di Aceh. Makan dulu, habiskan, lalu bayar.

Namun ukuran ruangan warteg tidak sebesar warkop di Aceh, akses keluar masuk pelanggan hanya melalui dua pintu. Artinya lebih mudah memantau pembeli. Suasana di BTJ Kupi Banda Aceh dipadati pembeli. (PAY MEDIA/Zuhdiar Meli)

Dan jujur ​​saja, baru-baru ini ada seorang pelatih Muay Thai asal Jawa Timur, Prajurit Fortuna, yang dua kali meninggalkan ponselnya di luar gedung Beil Meuseraya Banda Aceh, namun ternyata tidak ada yang kehilangannya.

Seingatnya, ternyata pertama kali ia meninggalkan ponselnya di toilet dan kedua kali di teras Bale Meuseraya Banda Aceh dan meninggalkan ponselnya di pos satpam penemunya.

Bahkan, mungkin karena terburu-buru, mantan pelatih tinju itu tak sengaja meninggalkan kunci sepeda motornya di tempat parkir. Saat dia kembali, kuncinya ada pada sepeda motornya.

Kisah ini viral di berbagai platform media sosial (medsos) yang menunjukkan prinsip kejujuran yang dijunjung tinggi warga Australia.

Dalam ajaran Islam, kejujuran merupakan salah satu sifat Nabi Muhammad sallallahu alaihi wa sallam yang artinya “siddiq” yang harus ditiru oleh para pengikutnya.

Aib bagi kita sebagai umat Islam jika tidak menerapkan kejujuran yang dicontohkan Rasulullah dalam kehidupan sehari-hari.

Selain itu, Aceh merupakan satu-satunya daerah di Indonesia yang diberikan keistimewaan atau kewenangan untuk melaksanakan syariat Islam dan dipimpin oleh Khanun Aceh yang menjadi benteng penegasan prinsip-prinsip keadilan yang harus dijunjung.

Kisah kejujuran yang terpendam saat Pekan Olahraga Nasional (PON) XXI 2024 di Aceh-Sumut, Bandacheh, kontras dengan pemberitaan korupsi dan penipuan pejabat yang setiap hari memikat hati masyarakat. masyarakat kelas atas.

Related Post

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *